Dilema itu akhirnya terpecahkan. Achmad Hamami bisa bernafas lega. Beban berat perwira Angkatan Laut itu sirna setelah membuat sebuah keputusan besar pada tahun 1967 itu. Dia memilih pensiun dini dari dinas militer. Institusi kebanggaan yang tengah dirubung korupsi akut.
Pilihan ini sungguh berat. Saat itu, kariernya tengah moncer. Jabatan Wakil Direktur Operasi Departemen Pertahanan berada dalam genggaman. Sebuah jaminan untuk menapaki hidup nyaman di masa depan bersama sang istri, Rubiasih Soemadipradja, dan empat anaknya.
Namun, pemilik nama lengkap Achmad Hadiat Kismet Hamami ini bukan tipe manusia serakah. Hatinya sudah muak dengan korupsi yang mewabah di lembaganya. Sehingga dia rela menanggalkan seragam kebesaran, juga pangkat yang mengkilap.
Hamami tak lagi peduli pada reputasi terhormat sebagai pilot jet tempur jempolan. Atau bahkan prestasi sebagai penyandang pangkat kolonel termuda. Sederet gelar dari pendidikan militer Belanda dan Inggris pun turut diabaikan. Pria kelahiran Jakarta 29 Juli 1930 ini berkata, “Jangan terjerembab ke pusaran korupsi laknat!”
Pilihan Hamami ternyata tepat. Setelah tak jadi serdadu, dia mulai membangun bisnis. Memelihara gurita usaha yang diawali dengan bisnis alat berat. “Roti dan kacang kami adalah alat berat,” tutur putra Hamami, Rachmat Mulyana Hamami.
Mantan penerbang TNI AL ini tak hanya piawai mengendalikan pesawat tempur. Dia ternyata juga pandai menyetir bisnis besar. Pandangannya jauh ke depan. Usaha ini dia racik untuk beberapa generasi. Turun-temurun, hingga anak-cucu.
“Ayah saya selalu bermimpi memiliki bisnisnya sampai 100 tahun. Siapa saja bisa memiliki bisnis keluarga, tapi hanya sedikit yang bertahan dari generasi ke generasi,” tambah Rachmat.
Usaha inilah yang mengantarkan bapak empat anak ini ke deretan orang terkaya di Indonesia. Tahun 2014, Majalah Forbes menempatkan Achmad Hamami pada peringkat 28 sebagai taipan terkaya Tanah Air. Kekayaannya mencapai US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 15 triliun.
Tapi perjuangan menuju orang terkaya bukan perkara mudah. Ekonomi keluarga Hamami sedikit goyah setelah memutuskan pensiun dini. Uang di tabungan terkuras. Mau tak mau dia harus membuka usaha. Les matematika di rumah pun dia buka. Demi mengepulkan asap dapur, anak-anak Hamami turut bergerak, berjualan es lilin keliling Kwitang.
Mengetahui kondisi ini, Soemitro Djojohadikoesoemo, yang kala itu menjabat sebagai menteri, menawari Hamami bekerja di Indoconsult Associates atau yang sekarang disebut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Tawaran itu disampaikan melalui sang mertua, Mamoen Soemadipraja. Soemitro dan Mamoen merupakan dekan di Universitas Indonesia, sekaligus mitra bermain tenis.
Dari situlah Hamami menjalin jaringan luas di kalangan bisnis. Dia bekerja di Indoconsult sampai 1970. Dia kemudian keluar dan mendirikan perusahaan pertamanya, PT Trakindo Utama, pada 23 Desember tahun yang sama. Basis perusahaan pun dibangun di Cilandak, Jakarta Selatan.
Angin keberuntungan mulai menerpa Hamami. Produsen alat berat asal Amerika Serikat, Caterpillar, tengah merajuk dengan distributor mereka di Surabaya. Rekanan di Kota Pahlawan itu dianggap tak maksimal mempromosikan produk Caterpillar.
Hamami pun melihat peluang ini. Hamami memang sudah berhubungan lama dengan Caterpillar sejak bekerja di Indoconsult. Karena peluang itulah, dia perdalam ilmu manajemen. Mengambil kelas malam di Universitas Dwipayana. Siang bekerja, Hamami belajar manajemen hingga larut malam. Gelar sarjana ekonomi diraih pada 1970.
Kerja keras itu akhirnya terbayar. Caterpillar kepincut. Perusahaan Paman Sam ini tertarik dengan latar belakang Hamami sebagai mantan tentara dengan reputasi bersih. Kerja sama pun terjalin. Akhirnya Trakindo resmi menjadi partner Caterpillar sejak 13 April 1971.
Booming pembangunan di Indonesia sejak dekade 1970-an semakin melambungkan bisnis Hamami. Tak hanya bidang konstruksi, alat-alat berat Trakindo juga laris dipesan perusahaan tambang. PT Freeport Indonesia menjadi salah satu klien besarnya.
Berkembang pesat, Hamami pun membangun anak-anak usaha untuk menopang Trakindo. Pada 1977 PT Sanggar Sarana Baja berdiri untuk layanan perancangan dan fabrikasi pasar industri peralatan berat. Tahun 1982, PT Natra Raya dibentuk untuk bisnis manufaktur dan perakitan alat berat Caterpillar. Sejak itu, anak-anak usaha lainnya terus lahir.
Namun di ujung dekade 1990-an, badai menerjang bisnis Hamami. Trakindo terpuruk saat Indonesia dihajar krisis ekonomi 1998. Hutang perusahaan menumpuk hingga US$ 118 juta. Masa-masa berat merundung. Selain terlilit utang, kesehatan Hamami semakin memburuk. Pada 1999, dia terserang glaukoma, yang membuatnya buta.
Tekanan krisis ekonomi semakin memperburuk kesehatannya. Di tengah kondisi sakit, Hamami nekat terbang ke Singapura. Mencari pinjaman bank guna membayar hutang. Namun gagal.
Keluarga Hamami terpaksa membayar hutang itu dengan menguras tabungan keluarga. Tapi kabar baiknya, sejak itu pula Trakindo terbebas dari jeratan rente.
Hamami mencoba bangkit. Pada 16 Agustus 2000, PT Tiara Marga Trakindo (TMT) berdiri. Perusahaan ini menjadi induk Grup Trakindo. Hamami memimpin TMT sejak 2001 hingga sekarang.
Kini, di bawah TMT, bernaung sejumlah anak perusahaan yang dikendalikan putra putri Hamami. PT ABM Investama Tbk., perusahaan bidang energi, dikendalikan Rachmat Mulyana Hamami; PT Trakindo dikelola Bari Hamami; PT Mahadana Dasha Utama (MahaDasha) dipegang Mivida Hamami.
Anak perusahaan lain adalah PT Chandra Sakti Utama Leasing (CSUL finance) dan PT Radana Bhaskara Finance, Tbk. Sementara, anak perempuan Hamami, Anna Solana Hamami yang menjadi dokter gigi, mengemban jabatan komisaris di TMT.
Dengan anak-anak perusahaan itu, keluarga Hamami melebarkan cengkraman bisnisnya. Tahun ini, setelah memperkuat penetrasi perseroan di segmen ritel dengan mengelola dua merek restoran waralaba internasional, Carl's Jr. dan Wingstop, keluarga Hamami membuka usaha supermarket LOKA.
Supermarket itu diluncurkan melalui PT Mega Mahadana Hadiya (Mahadya), unit usaha PT Mahadana Dasha Utama.
Kini, usia Hamami sudah 84 tahun, namun masih aktif berkecimpung di perusahaan. Hamami yang dulu lihai mengendalikan jet tempur di angkasa, kini menjelma sebagai nahkoda bisnis handal.
Menjadi kaya, bagi Hamami, bukanlah dosa. Tapi bagaimana usaha menjadi kaya itu dibangun dari kejujuran dan kerja keras. Bukan hasil korupsi. Lewat perjalanan waktu, Hamami membuktikan bahwa dia bisa. Menjadi kaya tanpa korupsi. (Sumber: dream.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar